Rabu, 08 Juni 2011

# Pendidikan Karakter Semakin Merosot

MERUSAK kantor pemerintah, fasilitas umum, maupun hak milik orang yang dibenci atau dijadikan sasaran, sudah menjadi pemandangan biasa dalam unjuk rasa yang dilakukan sekelompok masyarakat. Jangankan kelompok masyarakat biasa, pada unjuk rasa kelompok terpelajar (mahasiswa) pun sering terjadi pengrusakan, kekerasan, dan sejenisnya.

Perilaku mereka tidak lagi mencerminkan sebagai seorang terpelajar, berbudaya, berakhlak, tetapi hanya mengikuti emosi sesaat akibat provokasi orang lain. Mereka sepertinya tidak pernah mendapatkan pendidikan karakter (budi pekerti). Padahal, saat duduk di bangku sekolah mereka mendapatkan pendidikan P
Kn/Pancasila, agama, dan budi pekerti (di tingkat pendidikan dasar dan menengah). Adakah yang salah dalam pendidikan kita selama ini?

Pendidikan pembentukan karakter pada peserta didik semakin lemah, terus mengalami kemunduran. Pendidikan karakter, meskipun sudah sering digembar-gemborkan sebagai suatu kepentingan dan kemendesakan dalam kinerja pendidikan kita, tampaknya tidak sehebat wacana dengungnya ketika sampai di lapangan.

Pendidikan karakter pelan-pelan makin hilang dan tampaknya kurang begitu mendapatkan perhatian yang serius dari kalangan pendidik. Kalau toh ada, pendidikan karakter belum menjadi gerakan bersama, hanya dilakukan oleh pendidik yang masih punya idealisme.

Penghias Dinding

Visi dan misi pendidikan di  sekolah  tidak ubahnya hanya penghias dinding, sebagai persyaratan sekolah  pada saat penilaian (PKKS, Akreditasi). Misalnya, salah satu misi sekolah, "Membentuk manusia berbudi luhur dan berakhlak mulia" tertulis cukup jelas. Implementasinya?

Guru dalam kesehariannya kurang banyak memperhatikan salah satu misi itu dalam pembelajaran. Visi dan misi sekolah akhirnya menjadi sekadar pajangan. Kepala Sekolah pun dalam memberikan pembinaan kepada murid maupun  guru kurang banyak juga memberi penekanan kepada salah satu misi sekolah "membentuk manusia berbudi luhur  dan berakhlak mulia" tersebut.

Manusia berbudi luhur sebagai basis SDM yang berkualitas belum tergarap sebagaimana mestinya. Yang dibentuk dalam pendidikan lebih banyak kemajuan akademis. Itu pun untuk program sesaat, misalnya demi perolehan nilai ujian nasional.

Keberhasilan peserta didik hanya diteropong dari tingginya nilai rapor dan ujian nasional -- mirip kegiatan belajar di bimbingan tes. Bagaimana peserta didik mengimplementasikan ilmu yang dapat, akhirnya kurang mendapat penanganan yang serius. Ilmu yang didapat sepertinya hanya untuk persiapan tes dalam ujian.

Masa depan peserta didik seperti ada pada nilai tes kognitif itu semata. Yang lebih memprihatinkan, seperti yang disinyalir oleh sejumlah orang, cara memperoleh nilai ujian itu pun banyak dengan menempuh jalan pintas. Kalau tuduhan itu benar, maka semakin memperkuat opini tentang mutu pendidikan karakter semakin merosot.

Merosotnya mutu pendidikan karakter tentu ada hubungan signifikan dengan perilaku kekerasan. Hal itu dapat dilihat dalam tayang
an televisi, atau disaksikan langsung di depan mata. Seirama dengan itu, di kalangan guru, ada pergulatan dalam melakoni profesinya; antara pembentukan karakter dan tingginya nilai akademis. Memperhatikan fenomena yang ada, pemerintah sepertinya lebih memberikan arah untuk mengutamakan kemajuan akademis karena mudah diukur sehingga segera kelihatan hasilnya pada nilai ujian nasional.

Kesempatan guru membina karakter peserta didik semakin berkurang. Guru-guru terbebani membuat program jangka pendek, misalnya: para guru sibuk memenuhi tuntutan administrasi yang begitu rumit untuk dijadikan bukti fisik. Sedangkan aktivitas pendidikan pembentukan karakter, sebagai bagian dari program jangka panjang, masih dalam tataran wacana.

Apakah fenomena perilaku brutal, pemaksaan kehendak, peserta didik lebih suka memilih jalan pintas yang menyimpang dari nilai moral, belum cukup untuk mengambil tindakan nyata untuk pembenahan pendidikan karakter?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

d
P
.
S
,
i
d
n
e
f
f
E
a
n
u
j
r
A
s
a
M
n
e
d
a
R